20 September 2017,
seseorang pernah bertanya kepadaku tentang sebuah
kehilangan.
Apakah yang bisa kita lakukan hanyalah ikhlas?
Bagaimana menyembuhan hati yang sudah terlanjur retak karena sebuah kehilangan?
Untuk beberapa saat aku tertegun, membaca kembali pertanyaan itu. Ah iya,
pertanyaan itu diajukannya lewat chat. Syukurlah, batinku. Setidaknya dia tidak
perlu melihat perubahan wajahku kala mendengar pertanyaannya. Untuk beberapa
saat pula aku menghembuskan nafas berat, dan entah sekuat apapun aku
menahannya, pertanyaan tentang sebuah kehilangan selalu sukses membasahi
mataku.
Terima kasih sudah menanyakannya kepadaku. Sungguh, aku berterima kasih
karena saat ini aku bisa melihat jelas bagaimana perasaanmu yang selalu
abu-abu. Kau tahu? Tidak ada yang
benar-benar bisa memahami rasa sakit atas sebuah kehilangan kecuali seseorang
yang sebelumnya jua telah merasakan kehilangan begitu hebatnya.
Sebuah kehilangan, apapun bentuknya, rasa sakitnya selalu sama…terutama
kehilangan seseorang yang sangat kita kasihi dalam hidup.
Kau bertaya apakah yang bisa kita lakukan hanyalah ikhlas?
Aku menjawabnya: ‘Ya’! Namun, ‘hanyalah ikhlas’ yang kau sebutkan itu
sungguh berat sekali melewatinya. Eh bukan, bukan melewati lebih tepatnya,
karena kita tak akan pernah tahu kapan kita bisa disebut ikhlas.
Boleh saja kita menganggap diri kita telah ikhlas, tapi bukankah ikhlas
tidak ternilai? Sungguhkah hatimu ikhlas? Bagaimana kau bisa melihatnya?
Bagaimana kau bisa menilainya?
Aku tahu, setiap detik yang kau lalui dengan mengingatnya, hatimu selalu
terasa berat, ada sesuatu yang seakan tercekat di tenganh tenggorokanmu, dan
rasanya air mata berebut dipelupuk. Apakah itu yang kau sebut ikhlas?
Tidak. Ikhlas tidak pernah ternilai batasannya. Seperti sabar, ikhlas
juga tidak bisa dilakukan orang sembarangan. Tidak ada yang pernah tahu kapan
tingkatan ikhlas yang sebenar-benarnya bisa direngkuh.
Mungkin, jika suatu saat kau mengingat kenangan tentang sebuah ehilangan
seraya tersenyum menghargai kenangan itu pernah ada, sesakit apapun itu, saat
itulah kau mungkin telah mendekati ikhlasmu…
Jadi, seberapa dekat kau mendekati ikhlasmu?
Teriima kasih lagi. Aku benar-benar bersyukur kau menanyakannya kepadaku,
tentang sebuah kehilangan. Setidaknya aku tahu, kita adalah sedikit dari
banyaknya orang-orang hebat yang pernah diuji dengan sebuah kehilangan.
Pertanyaanmu selanjutnya,. Bagaimana menyembuhkan hati yang sudah
terlanjur retak karena sebuah kehilangan?
Sebelumnya, izinkan aku bertanya kepadamu (ah, aku jadi ikut-ikutan bertanya),
namun memang harus kutanyakan dulu, seberapa retak hatimu? Apakah kau merasa
‘kepergiannya’ juga seakan membawa sebagian besar alasanmu untuk bersemangat
hidup? Apakah kau merasa kehilangan itu sama sekali tidak adil bagimu? Apakah
kau pernah bertanya : ‘kenapa harus aku?’ ‘kenapa bukan orang lain saja yang
mengalaminya?’. Benar sekali, aku juga pernah merasakan hal yang serupa. Namun
sadarlah, semua rasa sakit itu terlahir dari sudut pandangmu, kau yang
menciptakannya sendiri dengan hatimu, kau yang menguatkan rasa sakitnya sesuai
sudut pandangmu. Pernahkah kau mencoba berpikir dari sudut pandang ‘ia yang
telah pergi’? Ada satu novel karangan bang Tere yang pernah kubaca. Disana
tokoh utamanya berkutat dengan rasa sakit atas kehilangan dan bang Tere menuliskan,
untuk mengatasi rasa sakit itu ia seharusnya
melihat dari sudut pandang ‘ia yang pergi’ meninggalkan, bukan dari sudut
pandang kita yang ditinggalkan. Bijak sekali bukan? silahkan hubungi aku untuk
menanyakan judulnya selagi aku mengingat-ingat, atau kau boleh juga meminjam
bukunya kepadaku dengan syarat kau kabulkan satu atau tiga permintaanku (eh
yang ini tidak serius, bercanda).
Ini tidak mudah. Tentu saja.
Bagaimana bisa kita melihat dari sudut pandang yang telah pergi sedangkan
yang tersakiti adalah kita?seberapa sulit itu, cobalah.
Bagaimana jika engkau adalah ‘orang yang telah pergi’? Kepergiannya
mungkin adalah hal terbaik untuknya, juga untukmu.
Apapun alasan ‘dia pergi’, percayalah itu hanyalah jalan untuk meloloskan
sebuah takdir tentang sebuah perpisahan… Sekecil apapun sebuah peristiwa,
bukankah itu sudah ditakdirkan? Bahkan daun kering yang jatuh pun memang sudah
takdirnya begitu.
Siapa yang tahu jika saja jatuhnya daun kering itu adalah sebuah alasan
atas suatu takdir lain? Mari kita berandai-andai (kau juga tahu aku pandai
berandai-andai bukan?), ikutlah berandai-andai denganku. Mungkin saja sebelum
daun kering itu gugur, ada dua semut diatasnya, yaitu seekor ibu semut dan
seekor anak semut babija(bayi beberapa jam) ; maksudku adalah orang-orang
menyebut bayi manusia tiga tahun dengan sebutan batita atau balita untuk bayi
lima tahun. Dalam cerita ini mari kita anggap bayi semutnya babija: bayi semut
yang berumur baru beberapa jam yang lalu (jangan bayangkan bagaimana ukuran
semut yang baru berusia beberapa jam, tapi jika kau penasaran bayangkan saja
dengan imajinasi pribadimu).
Ibu semut mungkin saja sedang mengajari anaknya merayap di daun yang
tidak mereka sadari daun yang mereka pijak sebentar lagi telah ditakdirkan
luruh dari ranting pohon. Daun jatuh saat anak semut sedang merayap di atasnya.
Karena belum terlalu mahir merayap, anak semut ikut terjatuh kebawah dan
disitulah bermula takdir mereka.
Dengan gugurnya daun kering, tentu saja ibu semut bisa dengan cepat
mendatangi si anak semut babija yang sudah bisa dipastikan sedang nangis
meraung-raung dibawah sana karena rasa sakit dan rasa takutnya.
ilustrasi daun kering(sumber: google.com) |
Daun yang jatuh, terlihat seperti ‘ia yang telah pergi’ dengan sia-sia,
terlihat seperti itu adalah akhir hidupnya. Terasa menyakitkan karena dia
terpisah dari ranting pohon yang selama ini paling dekat dengannya dari tunas
hingga ia menjadi daun tua yang mengering. Terasa tidak adil sekali bagi daun
itu bukan? Namun lihatlah sekali lagi, dengan gugurnya daun malang itu
peristiwa hebat lainnya terjadi. Entah daun itu menyadari atau tidak,
‘kepergiannya’ menjadi jalan indah mempertemukan kembali anak semut yang malang
dengan ibunya…
Dan bukankah kejadian yang terlihat dan terdengar sepele bagi kita itu
nyatanya adalah hal yang sangat amat berharga bagi ibu dan anak semut?
Begitulah takdir kurasa. Se sepele apapun itu, takdir adalah takdir, se sepele
apapun itu takdir akan tetap terjadi… dan jangan lupa, se berat apapun jua,
takdir juga pasti akan berlalu bukan?
Ah iya, tentu saja cerita ibu dan babija semut di atas cuma imajinasi
karanganku saja. Untuk memudahkanmu berandai-andai… juga untuk sedikit menjelaskan jika kemampuan
imajinasiku tidak melulu tentang seperti saat aku membayangkan kau sedang
memakai kostum bu peri lengkap dengan tongkat ajaib dan sedang merapal mantra
andalan ‘cuing cuing cuing’. Katakan padaku jika secara kebetulan kau membaca
ini lalu tersenyum di bagian yang kutulis ini, tentang bu peri maksudku.
Membayangkan seseorang tersenyum karenaku adalah hal yang cukup menyenangkan.
Untuk ketiga kalinya, aku akan kembali berterima kasih (apa terdengar
cerewet jika tiga kali berterima kasih?), tapi sungguh aku berterima kasih
dengan banyak rasa terima kasih kepadamu… terima kasih telah memberiku
pertanyaan ini, karena dengan begitu aku jadi tahu betapa egoisnya diriku.
Betapa egoisnya aku memikirkan sesuatu yang lain di saat kau berjuang
menyembuhkan sebuah luka dihatimu…
Jika memungkinkan untuk meminta maaf, maafkan aku. Hingga saat kau menanyakan dua pertanyaan ini
kepadaku, aku tidak pernah tahu seberapa gigihnya selama ini kau berusaha
melewati rasa sakit atas sebuah kehilangan di masa lalu. Aku sungguh tidak
tahu.
Kau mengatakan betapa sulitnya melupakan masa lalu menyakitkan itu. Tak
apa. Ikutilah alur prosesnya. Memang tidak akan singkat dan mudah untuk
menyembuhkan hatimu yang retak.
Namun, kenangan tetaplah kenangan. Seberapa sakit atau seberapa bahagia
sebuah kenangan, kita tak akan pernah bisa mengelaknya. Jadi daripada
melupakannya, bagaimana jika kau mendekapnya dengan hati yang lapang?
Sesakit apapun apapun kenanganmu, se berhasil apapun kau berusaha melupakannya, tetap dekaplah… karena sesungguhnya kenangan adalah salah satu bagian kecil dalam hidupmu di masa lalu yang akan melengkapi indahnya hidupmu di masa yang akan datang….
Sesakit apapun apapun kenanganmu, se berhasil apapun kau berusaha melupakannya, tetap dekaplah… karena sesungguhnya kenangan adalah salah satu bagian kecil dalam hidupmu di masa lalu yang akan melengkapi indahnya hidupmu di masa yang akan datang….
Kelak nanti, aku yakin akan ada masa dimana kau mengingat akan sebuah
kenangan menyakitkan tentang sebuah kehilangan, dank au mengingatnya seraya
tersenyum dengan hati lapang dan jua bersyukur dengan hati yang ikhlas
bahwasanya kau telah berhasil melewati satu ujian kesabaran dari Yang Maha
Kuasa…
Terakhir, kututup dengan sebesar-besarnyarasa terima kasihku..
Tetap sama, terima kasih untuk menanyakannya kepadaku..
Dengan begitu aku tahu, kau mempercayaiku..
Dengan begitu aku tahu, kau sedang berusaha menyembuhkan luka masa lalu
untuk memulai sesuatu yang baru tanpa rasa sakit…
Terima kasih, teman…
*ditulis dihari yang mendung yang kemudian tiba-tiba hujan deras
beberapa menit berikutnya
*ditulis dengan sesekali melirik rantang makan siang yang
masih utuh dipojok sana (jangan salah paham, aku belum lapar, hanya memastikan
makan siangku tidak ditikung semut jahat).
Dan juga,
*ditulis dengan senyuman dan rasa syukur bahwa setidaknya
aku selalu berharap kau selalu baik-baik saja tanpa kutanyakan kabarmu…
Situbondo, 12.41 pm.
youre the strong one.. i m on you kaak ❤️
BalasHapusLove this one! Thanks karena tulisan ini, aku belajar banyak hal kak. 😘
BalasHapus